FAJAR, JAKARTA — DPR RI mendirikan penggodokan aturan turunan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022. Hal itu disampaikan Anggota Komisi VIII DPR RI MF Nurhuda Y.
Dia meminta UU TPKS diimplementasikan dengan baik demi melindungi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah maupun tempat pendidikan.
“Pemerintah seharusnya segera mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan memberikan perlindungan serta pemulihan terhadap anak-anak korban kekerasan seksual. Termasuk membuat regulasi turunannya untuk melindungi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di lembaga pendidikan,” papar Nurhuda dalam keterangannya dikutip laman resmi DPR, Selasa, 10 Januari.
Desakan tersebut dia ungkapkan karena geram atas terjadinya pencabulan yang dilakukan oknum guru rebana di Batang.
“Ini kejadian yang berulang, sebelumnya ada oknum Guru juga yang melakukan kejahatan seksual di Batang. Sekarang terjadi lagi, ini harus ditindak tegas,” tandasnya.
Sebelumnya oknum guru agama berinisial AM (33) melakukan pencabulan terhadap 13 siswi sekolah menengah pertama (SMP) di Kecamatan Gringsing, Batang, Jawa Tengah.
Kali ini Oknum Guru Rebana berinisial M (28) diduga telah menyodomi puluhan anak didiknya. “Kenapa orang tidak jera juga?, lalu fungsinya UU TPKS apa?,” sesalnya.
Menurutnya, berbagai kasus kekerasan seksual yang dilaporkan merupakan puncak gunung es. Sebab, kata Nurhuda, umumnya kasus-kasus kekerasan di lingkungan pendidikan cenderung tidak diadukan.
“Ada relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, sehingga korban cenderung diam atau tidak berani melaporkan kasusnya. Bisa jadi, si anak malu atau takut jika bercerita atau melapor maka gurunya mengancam tidak memberi nilai di rapor,” tuturnya.
Ia pun menekankan potensi trauma yang berkepanjangan bagi para korban kekerasan seksual.
Bahkan tak sedikit korban yang justru menerima stigma buruk dari masyarakat. Karena itu, ia mendorong pemerintah memberikan perlindungan dan pemulihan kepada korban.
“Negara harus memastikan ketersediaan layanan konseling dan psikologis bagi korban, anggaran untuk jasa konselor termasuk rehabilitasi sosial bagi korban,” lanjutnya.
Nurhuda menilai kasus pencabulan yang terjadi di lingkungan pendidikan merupakan potret fenomena pendidikan yang butuh perhatian khusus.
Dia pun sangat menyayangkan tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. “Kondisi dunia pendidikan kita juga patut menjadi keprihatinan dan perhatian serius,” kata dia. (*)