FAJAR, JAKARTA – Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar Memahami Ilmu Pemerintahan Sesi 8 bertema “Menata Kembali Ilmu Pemerintahan yang Berkelanjutan dan Berpihak pada Kemashlahatan Ummat serta Kelestarian Alam”, Sabtu (4/3/2023).
Ketua Umum MIPI Bahtiar dalam sambutannya mengatakan, tema yang diangkat MIPI kali ini merupakan kajian yang telah diteliti oleh Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Eko Priyo Purnomo yang juga bertindak sebagai narasumber dalam webinar.
Bahtiar menjelaskan, pemikiran Eko Priyo Purnomo sangat penting karena sepanjang peradaban manusia, masyarakat telah berinteraksi dengan berbagai jenis bentuk pemerintahan. Meski begitu, berbagai masalah yang timbul membuat pemerintahan perlu ditata kembali supaya bisa berkelanjutan dan bermanfaat bagi manusia.
“Saya pikir ini pemikiran yang luar biasa, patut kita dengarkan, apa sih gagasan pemikiran beliau. Mengapa ilmu pemerintahan harus didekatkan kembali supaya berkelanjutan, dan dia bermanfaat bagi manusia dan juga kelestarian alam,” ungkap pria yang menjabat sebagai Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri ini.
Berkaitan dengan sumber daya alam (SDA), Bahtiar mengungkapkan teknologi hari ini telah membuat negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China melakukan berbagai upaya pengembangan. Seperti Amerika Serikat yang melakukan penambangan helium di bulan, di mana 100 kilogram helium bisa menerangi negara tersebut selama satu tahun.
“Artinya ada daya dukung alam (di bumi) yang berkurang dan tentu bagaimana ini bisa berkelanjutan tentu ada pengaruh-pengaruh langsung maupun tidak langsung dari sistem pemerintahan dan berbagai jenis bentuk pemerintahan yang melayani manusia di seluruh dunia,” terangnya.
Eko Priyo Purnomo dalam paparannya menyampaikan, tema pemerintahan yang berkelanjutan dan berpihak pada umat manusia serta alam berkaitan erat dengan adanya ketimpangan dan pembangunan yang tidak merata. Ketimpangan terjadi karena ada “inequality”, yang seharusnya ada sekelompok orang yang mendapatkan akses tetapi tidak mendapatkan akses.
“Bukan hanya di Papua, bukan hanya di daerah Aceh atau mungkin daerah lain, tapi banyak juga negara yang seperti itu. Ada proses equality yang tidak ada dan proses korupsi menunjukkan di sana,” jelasnya.
Ketimpangan tersebut menimbulkan adanya kemiskinan, bukan hanya kemiskinan relatif tetapi juga kemiskinan absolut. Untuk itu kebijakan pembangunan yang efektif diperlukan dalam rangka meminimalisasi tingkat ketimpangan tersebut.
Berbagai kebijakan tersebut di antaranya mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, kebijakan sosial redistributif, investasi pada perlindungan sosial, memperkuat kesetaraan dalam kesetaraan dalam kesempatan bernegara, dan pemanfaatan SDA yang berkelanjutan.
“Ada pendekatan tentang sustainable development. Ketika kita memahami sustainable development ini ternyata, ilmu pemerintahan kita selama ini pengembangan atau pemahaman ilmu pemerintahan, kebijakannya tidak sustain,” tuturnya.
Eko menegaskan, sustainability tersebut seharusnya menjadi concern para peneliti dan praktisi pemerintahan. Konsep sustainability mengacu pada upaya yang dilakukan untuk melestarikan lingkungan, menghentikan perubahan iklim, serta mewujudkan kemajuan sosial tanpa membahayakan makhluk hidup.(*)