FAJAR, JAKARTA— Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem pemilu menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka.
Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang pleno pembacaan putusan terkait gugatan sistem pemilu, Kamis (15/6/2023) menolak gugatan yang diajukan pemohon.
“Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok Permohonan: menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Anwar Usman di Gedung MK.
Putusan MK ini atas uji materi atau judicial review terhadap sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
MK senditi telah menggelar enam belas kali persidangan sejak pemeriksaan pendahuluan hingga pemeriksaan persidangan.
MK juga telah mendengar keterangan dari berbagai pihak mulai dari DPR, Presiden, serta sejumlah pihak terkait, dan para ahli.
Pasal yang digugat yakni Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu.
Pemohon judicial review itu adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi; Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka memilih pengacara dari kantor hukum Din Law Group.
Para pemohon menggugat pasal yang mengatur pemungutan suara dilakukan proporsional terbuka atau sistem coblos calon anggota legislatif (caleg). Mereka ingin sistem coblos partai atau proporsional tertutup yang diterapkan.
Indonesia sendiri telah menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2004 silam.
“Menyatakan frasa ‘proporsional’ Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sistem proporsional tertutup’,” jelas pemohon dalam salah satu petitumnya.(pram-arya/fajar)