FAJAR, MAKASSAR — Ketokohan Menteri Pertanian era Jokowi-Jusuf Kalla, Andi Amran Sulaiman(AAS) tengah dalam pergunjingan publik, khususnya di Sulawesi Selatan.
Tongkat estafet kepemimpinan sudah berlanjut dan akan terus berlanjut. Generasi praktis berganti. Era baru ini dianggap sebagai masa keemasan Andi Amran Sulaiman sebagai tokoh representasi dari timur Indonesia.
Kalau kata Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, Amran adalah satu-satunya figur terbaik saat ini yang dimiliki Indonesia timur.
Tak salah memang jika banyak kalangan yang menjulukinya the next Jusuf Kalla.
Amran baru saja membuktikannya. Ia diberi amanah menakhodai Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Hasanuddin (Unhas). Takhta yang sebelumnya diduduki JK selama 25 tahun terakhir.
Musyawarah Besar Ikatan Keluarga Alumni Universitas Hasanuddin digelar pada 4-6 Maret 2022 di Hotel Four Points Makassar.
Dalam pemilihan yang dilakukan secara voting, Amran berhasil meraup 82 suara. Unggul telak dari pesaingnya Haedar A Karim dengan 42 suara dari total 125 suara pemilih sah.
Andi Amran Sulaiman adalah putera ketiga dari 12 bersaudara. Ayahnya adalah veteran angkatan bersenjata, Andi B. Sulaiman Dahlan Petta Linta.
Si anak kolong itu menghabiskan masa kecilnya di sebuah desa di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Sejak umur 9 tahun, Amran kecil sudah harus bekerja memeras keringat demi untuk membayar iuran SPP sekolah. Kemiskinan justru tak membuatnya berkecil hati dan menggadaikan harga diri.
Pernah menjadi pemecah batu, penggali sumur, bertani, penjual ikan, penjual ubi, serta penggembala sapi dilakoninya dengan gigih.
“Saya jual ubi tidak ada yang beli akhirnya menghitam dan busuk. Jual ikan pun begitu, saya bangkrut,” kenang Amran menceritakan kisahnya kepada fajar.co.id, sesaat lalu.
Pria kelahiran Bone, 27 April 1968, itu tak canggung mengaku terlahir dari keluarga serba kekurangan secara ekonomi.
Setamat SMA, Amran diterima di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar. Namun melihat kondisi ekonomi keluarganya yang serba pas-pasan, Amran pun ragu melanjutkan pendidikan perguruan tinggi.
Saat itu gaji ayahnya sebagai tentara hanya Rp116 ribu untuk menghidupi seorang istri dan 12 anak.
“Ibu saya bilang (dengan bahasa bugis) lanjut saja kuliah. Soal biaya jangan dipikirin, pasti dikasih jalan,” kata Amran.
Optimisme sang ibu memecut kembali semangat Amran untuk melanjutkan pendidikan.
Meski saat itu ia akhirnya tahu, ibunya harus pontang panting meminjam uang ke tetangga karena hasil buminya tidak cukup untuk membayar iuran semester kuliahnya.
“Pernah ibu pinjam uang Rp 200 ribu ke tetangga untuk kuliah saya. Setelah beberapa tahun kemudian, anaknya tetangga yang pernah pinjami ibu uang terlilit utang senilai mobil. Datang ke saya minta tolong, langsung saya lunasi semua utangnya,” kisahnya.