FAJAR, JAKARTA — Pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas, telah menetapkan kuota Bahan Bakar Minyak atau BBM Jenis Bahan Bakar Khusus Penguasan (JBKP) atau BBM subsidi meliputi Pertalite dan Solar.
Adapun besarnya masing-masing, Pertalite sebanyak 32,56 juta kiloliter (kL) dan minyak solar 17 juta kL.
Tak hanya itu, pemerintah juga menetapkan kuota BBM Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) minyak tanah (kerosene) sebanyak 0,5 juta kiloliter. Kepala BPH Migas Erika Retnowati mengatakan, pihaknya telah meningkatkan kuota pertalite dari tahun sebelumnya seiring peningkatan konsumsi pada 2022.
“Untuk JBKP kuotanya meningkat kurang lebih 2,6 juta kiloliter. Hal ini didasari tren konsumsi bulanan BBM tahun 2022 yang mendekati normal setelah menurun saat pandemi,” kata Erika dalam keterangannya, Minggu (8/1).
Meskipun kuota naik, lanjut Erika, saat ini pihaknya bersama dengan stakeholder terkait sedang mengusulkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Revisi tersebut dilakukan guna memantau pendistribusian JBT dan JBKP menjadi tepat sasaran. Dalam hal ini, pihaknya akan meningkatkan pengendalian penyaluran BBM salah satunya dengan menggunakan aplikasi MyPertamina.
“Hal ini sesuai ketentuan dalam Perpes Nomor 191 Tahun 2014 bahwa pendistribusian JBT dan JBKP dilakukan secara tertutup. Nantinya hanya konsumen yang terdaftar yang dapat dilayani untuk memperoleh JBT dan JBKP,” ujarnya.
Sebelumnya, sepanjang 2022, BPH Migas dan Kepolisian Republik Indonesia berhasil mengungkap sejumlah kasus penyalahgunaan BBM bersubsidi. Jumlah yang berhasil diamankan mencapai sekitar 1.422.263 liter.
Menurut Erika, banyaknya kasus yang diungkap tidak terlepas dari faktor-faktor yang memengaruhi. Antara lain, sistem pengendalian dan pengawasan dalam pendistribusian BBM solar subsidi yang belum optimal.
Lalu, disparitas harga solar industri dan solar subsidi yang cukup besar. Permintaan pasar (demand) untuk solar yang dipergunakan bagi pelabuhan perikanan, industri, dan pertambangan yang jumlahnya sangat besar.
“Serta tidak adanya perbedaan spesifikasi antara solar subsidi dan solar industri, dan perubahan ketentuan sanksi dalam regulasi terkait dengan penyalahgunaan BBM (penerapan sanksi administrasi),” kata Erika dalam konferensi pers Penegakan Hukum atas Penyalahgunaan BBM Bersubsidi Tahun 2022 Kerja sama antara BPH Migas dengan Polri, Selasa (3/1).
Erika kembali mengingatkan sanksi pidana bagi pelaku penyalahgunaan BBM subsidi yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi Rp 60 miliar. Dan baru-baru ini pemerintah telah menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang telah menambahkan ketentuan pidana.
“Selain untuk subsidi juga dikenakan terhadap kegiatan yang penyediaan dan pendistribusiannya diberikan penugasan pemerintah akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi Rp 60 miliar,” tegas Erika. (jpg/fajar)