FAJAR, JAKARTA — Dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sepakat untuk mengawal Pemilu 2024 dari politik identitas. Upaya itu diperlukan untuk memastikan agenda politik tidak kembali meninggalkan residu bernuansa SARA.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, politik identitas berpotensi membayangi dinamika politik ke depan. Karena itu, pihaknya mencanangkan untuk memerangi narasi tersebut.
”NU menetapkan tentang politik identitas ini sebagai perhatian utama,” tegasnya dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin (25/1).
Gus Yahya, panggilan akrabnya, menyatakan bahwa tantangan politik identitas memang cukup berat. Bahkan, dia menyebut, di dalam lingkungan NU sendiri kecenderungan politik identitas itu masih kuat. NU kerap dimanfaatkan pihak tertentu.
”Pada 2019 lalu, kita melihat bahwa ada mobilisasi dukungan dengan menjadikan identitas NU ini sebagai senjata,” imbuhnya.
Praktik demikian itu, lanjut dia, bukan dinamika politik yang baik. Jika identitas yang ditonjolkan, yang muncul pola irasional karena berbasis pada sentimen. ”Menganggap pihak lain adalah lawan yang absolut. Sehingga negosiasi dan pertukaran pemikiran kurang dikedepankan,” jelasnya.
Imbasnya, keharmonisan masyarakat rawan terkoyak. Karena itu, kata Gus Yahya, NU akan mencegah politik identitas. Termasuk di internal NU. Upaya itu ditempuh melalui komunikasi dengan stakeholder, termasuk partai politik.
Dia juga memandang perlunya pendidikan politik kepada masyarakat. Dengan demikian, corak pikir rasionalitas lebih dominan. ”Insya Allah ke depan NU lebih intensif dalam mendorong strategi untuk kepentingan ini,” terangnya.
Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Izzul Muslimin menambahkan, perserikatannya juga menaruh perhatian pada isu tersebut. Dia sepakat persoalan identitas berpotensi menjadi masalah kalau ada pihak yang mencoba mendapatkan keuntungan secara politik.
Secara naluriah, identitas bangsa Indonesia adalah pluralis. Baik dari sisi keagamaan maupun identitas kesukuan. ”Ketika kemudian ada kepentingan politik memanfaatkan politik identitas, ini dikhawatairkan bisa mencederai pemilu kita,” jelasnya.
Menurut Izzul, praktik demikian itu terjadi karena sebagian elite politik berpikir pragmatis. Mereka hanya mencari kepentingan atau keuntungan walaupun harus mengorbankan hal besar. ”Kita berharap ke depan, terutama pelaksanaan Pemilu 2024 nanti, hal yang menjadi penyakit pemilu ini bisa kita minimalkan, syukur-syukur bisa kita singkirkan.” (*)