FAJAR, MAKASSAR — Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (RI), Dadan S Suharmawijaya menyebut ada 352 aduan persoalan desa tiga tahun terakhir. Dari angka itu, 31 persen kasusnya terjadi di Pulau Sulawesi.
Dadan menyebut, aduan naik tiap tahunnya. Hal itu diungkapkan dalam podcast Meja Redaksi di Harian Fajar Official.
“Nah, angkanya 2020 masih kecil, cuma 65 kasus. 2021, 93 kasus. 2022 194 kasus. Jadi tiap tahun naik,” ungkap Dadan, Selasa (14/3/2023).
Dari data itu, Dadan bilang mayoritas kasus karena pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa. Angkanya hingga 44 persen.
“Yang masuk laporan terkait pedesaan, ada dana desa 17 persen, pelayanan desa 30 persen, pengelolaan desa 9 persen. Paling besar ini pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa sampai 44 persen,” paparnya.
Dilihat dari sebarannya, Pulau Sumatera dengan kasus paling banyak. Disusul Sulawesi di urutan kedua.
“Sisi persebarannya, kita paka pulau besar. Kalimantan cuma 1 persen. Maluku sama Papua 3 persen, di Bali, NTT, NTB 5 persen, Jawa 10 persen. Di Sulawesi 31 persen. Paling tinggi di Sumatera, 50 persen,” jelasnya.
Merujuk pada kasus paling banyak, pengangkatan dan pemberhentian desa. Ia mengatakan persoalan itu adalah masalah kompleks.
Kadangkala, pemberhentian perangkat desa tidak melalui rekomendasi camat. Kedua, pembatalan Surat Keputusan (SK) perangkat desa tidak sesuai prosedur.
“Jadi SK perangkat desa yang sebelumnya dibatalkan oleh kelala desa baru,” katanya.
Persoalan juga muncul di luar lingkup Pemerintah Desa. Tim evaluasi perangkat daerah yang dibentuk di Pemerintah Daerah kata dia kadang melebihi kewenangan. Asal pecat saja.
“Kemudian, ada pemberian sanksi tertulis yang tidak diatur dalam petunjuk teknis. Sehingga tidak memliki tata naskah dinas yang baku,” tandasnya. (Arya/Fajar)