81 Tahun Jusuf Kalla: Cerdik Seperti La Mellong Hingga Kepincut dengan Adik Kelas

  • Bagikan

FAJAR, JAKARTA — Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12, Muhammad Jusuf Kalla baru saja merayakan ulang tahun ke 81 secara sederhana di kediaman pribadinya di Jakarta, Senin 15 Mei 2023.

Pak JK, demikian ia biasa disapa, lahir 15 Mei 1942 di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Diberinya nama Jusuf oleh orangtuanya, Kalla dan Athirah agar menjadi pria yang gagah dan dicintai banyak orang seperti Nabi Yusuf AS.

Ketika itu Kalla dan Athirah masih merintis usahanya di depan Pasar Bone, Jalan Wajo yang kemudian dikenal dengan Toko Sederhana yang menjual baju, celana, sarung, dan lainnya. Haji Kalla dikenal sebagai pengusaha tekstil terbesar di Bone.

Salah satu keunikan toko ini, pelanggan selalu disuguhi minuman lemonade dan kue tradisional seperti barongko, bolu peca, sanggara belanda hingga taripang.

Kelahiran Jusuf disambut riang gembira oleh kedua orang tuanya. Pasalnya, Kalla dan Athirah sempat melahirkan anak pertama laki-laki namun meninggal di usia 40 hari.

Jusuf dibesarkan dengan kearifan lokal Bugis. Jusuf dibuai dengan nyanyian khas Bugis. Setiap di ayunan ia ditidurkan dengan nyanyian pengantar tidur khas Bugis.

Dia juga seringkali didongengkan saat masih kecil seperti dongeng Nenek Pakande dan La Mellong. Nenek Pakande adalah salah satu cerita rakyat yang populer di masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis.

Nenek Pakande digambarkan sebagai sosok nenek tua yang suka memakan atau memangsa anak-anak. Seringkali dimanfaatkan orang tua untuk menakuti anak-anak yang nakal. Kata Pakande berasal dari kata “manre’ yang artinya makan. Jadi Pakande bisa diartikan sebagai “si tukang makan”.

Sedangkan La Mellong atau yang digelar Kajao Laliddong adalah penasehat Raja Bone ke 6 dan ke 7 yang terkenal kecerdasan dan kebijaksanaannya. Sebagian kisah tentang kecerdikannya menjadi cerita rakyat di Bone secara turun temurun.

La Mellong dikenal sebagai penasehat raja yang berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan di Kerajaan Bone pada abad ke XVI dimasa pemerintahan Raja Bone ke VI La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke VII Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584).

La Mellong Kajao Laliddong terkenal dengan pokok-pokok pikirannya tentang hukum dan ketatanegaraan yang menjadi acuan bagi raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan di Kerajaan Bone.

Dalam lintasan sejarah perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, bahwa betapa besar jasa La Mellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan.

Ikrar tersebut dikenal dengan nama “LamumpatuE (perjanjian Tellumpoccoe)” ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe Bongkangnge.

Lanjut cerita, Jusuf Kalla dari kecil sudah mengagumi kisah La Mellong.

“Bagaimana caranya bisa seperti La Mellong,” ujar Jusuf dikutip dari buku Hadji Kalla – Athirah Saudagar Sehati.

Nenek Jusuf, Ma’Kerrah pun menjawab pertanyaan Jusuf dengan mengatakan sekolah adalah kunci.

“Sekolah. Assikolaki. Kalau mau pintar seperti La Mellong harus sekolah”.

Pada tahun 1948, Jusuf diusia 7 tahun dibawa ke Mekkah menunaikan Haji. Itulah utusan haji pertama dari Indonesia setelah kemerdekaan.

Dukanya saat menunaikan ibadah haji, adik Jusuf, Zulaeha yang masih berusia tiga tahun meninggal di tanah suci.

Saat kelas 4 SD, Jusuf seringkali dibawa oleh ayahnya bertemu dengan relasi. Setiap pulang sekolah, Jusuf juga diharuskan mampir ke toko untuk membantu. Begitu cara Haji Kalla menanamkan jiwa dagang sejak dini kepada Jusuf.

Pada tahun 1952, marak kekacauan di Sulsel. Pasukan yang dipimpin Abdul Qahhar Muzakkar terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Akibatnya, perjalanan Makassar Bone terganggu. Sementara Kalla sibuk ke Makassar untuk terus mengembangkan bisnisnya. Akhirnya, Kalla dan Athirah memilih menjual tokonya di Bone yang telah berdiri selama 12 tahun.

Mereka lalu melanjutkan bisnis di Makassar dengan membeli toko di sekitar pelabuhan Makassar. Hadji Kalla mukim di Makassar ketika Pemerintah Orde Lama menggalakkan gerakan nasionalisasi perusahaan Belanda melalui program yang disebut Benteng.

Program ini berupa kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah Indonesia sejak bulan April 1950 untuk membina pengusaha pribumi. Kalla memanfaatkan Program Benteng, Hadji Kalla membeli tujuh Firma warisan Belanda. Kemudian mendirikan NV Hadji Kalla Trading Company pada 18 Oktober 1952.

Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan, tekstil, ekspor-impor, dan jasa transportasi. Setelah tamat SD di Bone, Jusuf menyusul orang tuanya pada tahun 1954. Dia kemudian lanjut di SMP Islam Datumuseng. Saat pekan olahraga Nasional (PON) ke-4, tanggal 27 September – 6 Oktober 1957, Jusuf selalu dibawa menonton bola di Stadion Mattoanging.

Setiap pulang sekolah, Jusuf membantu orangtuanya di kantor. Setelah Salat Asar di Masjid Raya, mereka kadang ke Stadion Mattoanging.

Jika pertandingan PSM digelar lebih awal, sebelum Asar, Hadji Kalla dan Jusuf langsung ke Stadion Mattoanging setelah Salat Dhuhur sambil membawa sajadah untuk persiapan Salat Asar.

“Bawa memangmaki sajadah supaya bisa langsung Salat Asar setelah nonton,” kata Hadji Kalla.

Tahun keempat di SMP Islam Datumuseng, Jusuf dan sahabat akrabnya, Muh Abduh, ikut upan persamaan sekolah menengah umum. Abduh lanjut ke SMA umum.
Jusuf lolos lagi dari “pesantren”. Hadji Kalla berharap Jusuf lanjutkan Pendidikan ke pesantren di Pulau Jawa. Tapi rencana itu tak terlaksana.

Hadji Kalla tetap berharap Jusuf meraup ilmu agama sebanyak-banyaknya dari SMA Islam Makassar. Tapi apa daya, Jusuf tidak kerasan di SMA Islam Makassar. Dia kemudian pindah ke SMAN 1. Pun hanya beberapa bulan.

Jusuf lalu pindah ke SMAN 2, tapi juga hanya betah beberapa bulan. Akhirnya Jusuf masuk SMAN 3. Di sekolah ini Jusuf mulai agak betah dan mulai aktif berorganisasi. Karena sekolahnya jauh dari Jalan Andalas, Hadji Kalla membelikan Jusuf motor Vespa. Jusuf naik Vespa ke sekolah sejak tahun 1958. Uang jajannya juga selalu berlebih, ada dari Athirah juga ada dari Hadji Kalla.

Kelebihan uang jajan itu dihabiskan untuk mentraktir teman-teman di kantin sekolah. Setahun mengendarai Vespa, Jusuf dibelikan mobil jip Willys. Sesekali mobil itu dipakai sendiri oleh Jusuf dan Hadji Kalla menemui rekan bisnis.

Di SMAN 3, Jusuf kepincut adik kelasnya, Mufidah. Jusuf mengeluarkan banyak jurus untuk menaklukkan Ida. Entah berapa banyak lembar surat dia kirimkan untuk meluluhlantahkan hati Ida yang keras itu. Jusuf semakin menguatkan tekad setelah mengetahui siapa Ida.
Kemudian Jusuf lanjut kuliah di Fakultas Ekonomi Unhas angkatan 1960. Disana ia menjelma menjadi aktivis sekaligus menjadi asisten dosen.

Dia aktif di KAMI bersama Aksa Mahmud, Alwi Hamu, Tadjang Badawi, Syarifuddin Husain, Ronald Ngantung, Safiuddin Makka, Amiruddin Aliah. Aktivis seperti Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, Mar’ie Muhammad, Sofjian Wanandi san Fahmi Idris beberapa kali datang ke rumah Jusuf untuk berdiskusi. Di belakang rumah Jusuf dijadikan sebagai markas aktivis mahasiswa di Makassar awal 1960an. Jusuf kemudian juga menjadi Ketua HMI 1965-1966.

Di tahun yang sama menjadi Ketua Pemuda Sekber Golkar Sulsel dan Tenggara (1965-1968). 1966-1967 dia jadi Ketua Dewan Mahasiswa Unhas. Dan terpilih menjadi Ketua Presidium KAMI pada 1967-1969. Selanjutnya terpilih menjadi Ketua Umum HMI Cabang Makassar.

Di masa kepemimpinan Jusuf, HMI Cabang Makassar menerbitkan buletin hijau hitam berjuang. Redaksinya antara lain Aksa Mahmud, Alwi Hamu dan Syafiuddin Makka. Akhirnya Jusuf menikah dengan Mufidah di Andalas pada 27 Agustus 1967. (selfi/fajar)

  • Bagikan