Disdikbud Kaltara Jawab Fenomena Stigma Sekolah Negeri Favorit

  • Bagikan

FAJAR, TANJUNG SELOR – Stigma sekolah negeri favorit menjadi salah satu fenomena pendidikan di masyarakat hingga saat ini. Hal tersebut seyogianya sudah berusaha dihapus pemerintah melalui sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mulai tahun 2018 lalu.

Akan tetapi stigma sekolah favorit belum bisa terlepas penuh di masyarakat. Karena disinyalir ada sebagian masyarakat yang mengakali sistem zonasi PPDB dengan pindah domisili hingga pembuatan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk bisa masuk ke sekolah yang dianggap favorit.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalimantan Utara, Teguh Henri Sutanto, tidak menampik jika pandangan terhadap sekolah yang dinilai favorit masih ada. Namun, ia menegaskan jika pemerintah tidak menghendaki hal tersebut.

“Tidak dipungkiri memang masih ada pandangan sekolah favorit dan tidak favorit, tapi sebenarnya kita tidak menghendaki itu,” sebutnya,

Lanjutnya, masyarakat perlu memahami jika indikator kualitas pada sekolah negeri sudah berubah. Yakni tidak terfokus pada sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah bersangkutan.

Salah satu indikator kualitas sekolah dapat dilihat jika sekolah bersangkutan menyandang status sekolah penggerak. Sekolah dengan status ini menjadi panutan, tempat pelatihan dan inspirasi bagi guru dan kepala sekolah dari satuan pendidikan lain.

“Indikatornya adalah memiliki kepala sekolah yang lulus ujian kepala sekolah penggerak. Jadi ukurannya di sistem pembelajaran, penerapan sistem kurikulum merdeka, berbasis proyek dan lainnya. Sehingga indikator sekolah unggulan atau favorit itu bukan lagi karena sarana prasarananya yang megah,” jelasnya.

Pengetahuan masyarakat tentang status sekolah penggerak diharap menggeser stigma sekolah favorit pada SMAN di wilayah masing-masing.

“Oleh karena itu, tahun ini kami dorong masyarakat bisa mengenal mana saja yang sudah menjadi sekolah penggerak,” ungkapnya.

Sementara itu, masyarakat dapat menjadikan kuota jalur undangan dari perguruan tinggi untuk menghapus stigma sekolah favorit dari sekadar kepemilikan Sarpras.

Mengingat kuota yang diberikan perguruan tinggi mencerminkan tingkat kepercayaan kepada sekolah.

“Semakin sekolah mendapat kuota jalur undangan atau jalur prestasi dari perguruan tinggi, berarti sekolah semakin bermutu. Misal SMAN 1 jalur undangannya 20, sedangkan SMAN 2 jalur undangannya 30, berarti kan perguruan tinggi lebih percaya kepada SMAN 2,” pungkasnya.

  • Bagikan