FAJAR, TANJUNG SELOR – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Utara, Hairul Anwar, S.Hut., M.AP., memberikan klarifikasi tegas menyikapi pemberitaan di salah satu media daring yang menyebut nama Gubernur Kaltara, Dr. H. Zainal A. Paliwang, S.H., M.Hum., dalam kasus penyalahgunaan dana hibah kepada PT Benuanta Kaltara Jaya (BKJ).
Media tersebut mengaitkan Gubernur dengan perkara korupsi yang menjerat Direktur Utama PT BKJ, Haeruddin Rauf, serta almarhum Drs. Hamsi, S.Sos., M.T., mantan Kepala DLH Kaltara, yang kasusnya telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Saat dikonfirmasi, Hairul Anwar menegaskan bahwa pihaknya menilai tidak ada urgensi untuk memberikan klarifikasi, karena perkara ini sudah diputus oleh pengadilan.
“Saya sebenarnya tidak berniat menanggapi, karena tidak ada hal krusial yang perlu diklarifikasi. Namun karena ini menyangkut integritas lembaga dan pimpinan daerah, saya merasa perlu memberikan penjelasan sesuai fakta hukum,” ucapnya saat diwawancarai di kediamannya, Rabu (6/8/2025).
Hibah Sesuai Aturan
Hairul menjelaskan bahwa pemberian hibah kepada BUMD seperti BKJ telah diatur secara legal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa penganggaran hibah dapat dilakukan oleh perangkat daerah terkait. Dalam kasus ini, DLH yang mengusulkan dan menyalurkan hibah kepada BKJ, bukan langsung dari Gubernur,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, penganggaran hibah dicatat dalam anggaran SKPD sesuai tugas dan fungsi, dan tanggung jawab mutlak berada di kepala SKPD sebagai pengguna anggaran (PA).
Tidak Ada Indikasi Keterlibatan Gubernur
Lebih lanjut, Hairul menguraikan bahwa dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah berfungsi sebagai pemegang kebijakan, bukan sebagai pelaksana teknis. Sehingga jika terjadi penyimpangan, maka tanggung jawab hukum berada pada pejabat pelaksana teknis anggaran.
“Kalau merujuk pada aturan, maka tidak tepat apabila kepala daerah disalahkan secara langsung atas pelaksanaan teknis yang dilakukan oleh SKPD. Sama halnya dengan Presiden, Gubernur adalah pengambil kebijakan, bukan pelaksana,” tegasnya.
Namun demikian, Hairul menekankan bahwa semua pihak tetap tunduk pada hukum. “Tidak ada yang kebal hukum. Jika ada bukti kuat mengenai aliran dana atau keterlibatan langsung, tentu harus diproses sesuai hukum. Tapi dalam kasus ini, pengadilan sudah memutuskan secara inkrah dan tidak ditemukan keterlibatan Gubernur,” jelasnya.
Hormati Putusan Pengadilan
Ia mengajak semua pihak untuk menghormati putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan tidak lagi memperdebatkan perkara yang telah selesai secara hukum.
“Putusan inkrah itu mengikat. Menanggapi atau mengklarifikasi kembali hanya akan menimbulkan kesan seolah-olah pemerintah meragukan putusan hukum itu sendiri,” ujarnya.
Sebagai lembaga pemerintah, kata Hairul, sikap yang ditunjukkan harus konsisten, tegak lurus dengan prinsip hukum dan tidak menimbulkan ambiguitas.
“Kami tidak bisa menyampaikan narasi yang seolah membantah putusan hukum. Itu justru bisa merusak kredibilitas lembaga negara dan menimbulkan preseden buruk,” katanya.
Sikap Tegas Pemerintah
Menurut Hairul, pemerintah tidak boleh ikut larut dalam opini yang dibangun tanpa dasar hukum yang kuat. Apalagi jika tudingan tersebut terkesan hanya untuk membentuk persepsi publik.
“Sikap pemerintah harus tegas dan sesuai prinsip hukum. Jika perkara sudah diputus secara sah dan final, maka tidak perlu lagi ada penjelasan tambahan yang bisa memicu multitafsir,” tutup Hairul.